Archive for the ‘BATAK’ Category
Posted:
16/03/2011 in BATAK
1. HASIL
PERADABAN
Ulos (lembar
kain tenunan khas tradisional Batak) pada hakikatnya adalah hasil peradaban
masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu. Menurut catatan beberapa ahli ulos
(baca: tekstil) sudah dikenal masyarakat Batak pada abad ke-14 sejalan dengan
masuknya alat tenun tangan dari India. Hal itu dapat diartikan sebelum masuknya
alat tenun ke Tanah Batak masyarakat Batak belum mengenal ulos (tekstil). Itu
artinya belum juga ada budaya memberi-menerima ulos (mangulosi). Kenapa?
Karena nenek-moyang orang Batak masih mengenakan cawat kulit kayu atau tangki.
Pertanyaan: lantas apakah yang diberikan hula-hula kepada boru pada jaman
sebelum masyarakat Batak mengenal alat tenun dan tekstil tersebut?
Pertanyaan
itu hendak menyadarkan komunitas Kristen-Batak untuk menempatkan ulos pada
proporsinya. Ulos pada hakikatnya adalah hasil sebuah tingkat peradaban dalam
suatu kurun sejarah. Ulos pada awalnya adalah pakaian sehari-hari masyarakat
Batak sebelum datangnya pengaruh Barat. Perempuan Batak yang belum menikah
melilitkannya di atas dada sedangkan perempuan yang sudah menikah dan punya
anak atau laki-laki cukup melilitkannya di bawah dada (buha baju). Ulos juga
dipakai untuk mendukung anak (parompa), selendang (sampe-sampe)
dan selimut (ulos) di malam hari atau di saat kedinginan.
Dalam
perkembangan sejarah nenek-moyang orang Batak mengangkat kostum atau tekstil
(pakaian) sehari-hari ini menjadi simbol dan medium pemberian hula-hula kepada
boru (pihak yang lebih dihormat kepada pihak yang lebih menghormat).
2. MAKNA
AWAL
Secara
spesifik pada masa pra-kekeristenan ulos atau tekstil sehari-hari itu dijadikan
medium (perantara) pemberian berkat (pasu-pasu) dari mertua kepada
menantu/ anak perempuan, kakek/nenek kepada cucu, paman (tulang) kepada
bere, raja kepada rakyat. Sambil menyampaikan ulos pihak yang dihormati ini
menyampaikan kata-kata berupa berkat (umpasa) dan pesan (tona)
untuk menghangatkan jiwa si penerima. Ulos sebagai simbol kehangatan ini
bermakna sangat kuat, mengingat kondisi Tanah Batak yang dingin. Dua lagi
simbol kehangatan adalah: matahari dan api.
Bagi nenek-moyang Batak yang pra-Kristen selain ulos itu an sich yang
memang penting, juga kata-kata (berkat atau pesan) yang ingin disampaikan
melalui medium ulos itu. Kita juga mencatat secara kreatif nenek-moyang Batak
juga menciptakan istilah ulos na so ra buruk (ulos yang tidak bisa
lapuk), yaitu tanah atau sawah. Pada keadaan tertentu hula-hula dapat juga
memberi sebidang tanah atau ulos yang tidak dapat lapuk itu kepada borunya.
Selain itu juga dikenal istilah ulos na tinonun sadari (ulos yang
ditenun dalam sehari) yaitu uang yang fungsinya dianggap sama dengan ulos.
Ulos yang
panjangnya bisa mencapai kurang lebih 2 meter dengan lebar 70 cm (biasanya
disambung agar dapat dipergunakan untuk melilit tubuh) ditenun dengan tangan.
Waktu menenunnya bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung tingkat
kerumitan motif. Biasanya para perempuan menenun ulos itu di bawah kolong
rumah. Sebagaimana kebiasaan jaman dahulu mungkin saja para penenun pra-Kristen
memiliki ketentuan khusus menenun yang terkait dengan kepercayaan lama mereka.
Itu tidak mengherankan kita, sebab bukan cuma menenun yang terkait dengan agama
asli Batak, namun seluruh even atau kegiatan hidup Batak pada jaman itu.
(Yaitu: membangun rumah, membuat perahu, menanam padi, berdagang, memungut
rotan, atau mengambil nira). Mengapa? Karena memang mereka pada waktu itu belum
mengenal Kristus! Sesudah nenek moyang kita mengenal Kristus, mereka tentu
melakukan segala aktivitas itu sesuai dengan iman Kristennya, termasuk menenun
ulos!
3.
PERGESERAN MAKNA ULOS
Masuknya
Injil melalui para misionaris Jerman penjajahan Belanda harus diakui
sedikit-banyak juga membawa pergeseran terhadap makna ulos. Nenek-moyang Batak
mulai mencontoh berkostum seperti orang Eropah yaitu laki-laki berkemeja dan
bercelana panjang dan perempuan Batak (walau lebih lambat) mulai mengenal gaun
dan rok meniru pola berpakaian Barat. Ulos pun secara perlahan-lahan mulai
ditinggalkan sebagai kostum atau pakaian sehari-hari kecuali pada even-even
tertentu. Ketika pengaruh Barat semakin merasuk ke dalam kehidupan Batak,
penggunaan ulos sebagai pakaian sehari-hari semakin jarang. Apa akibatnya?
Makna ulos sebagai kostum sehari-hari (pakaian) berkurang namun konsekuensinya
ulos (karena jarang dipakai) jadi malah dianggap “keramat”. Karena lebih banyak
disimpan ketimbang dipergunakan, maka ulos pun mendapat bumbu “magis” atau
“keramat”. Sebagian orang pun mulai curiga kepada ulos sementara sebagian lagi
menganggapnya benar-benar bertuah.
4. ULOS DAN
KEKRISTENAN
Bolehkah
orang Kristen menggunakan ulos? Bolehkah gereja menggunakan jenis kostum atau
tekstil yang ditemukan masyarakat Batak pra-Kristen? Jawabannya sama dengan
jawaban Rasul Paulus kepada jemaat Korintus: bolehkah kita menyantap daging
yang dijual di pasar namun sudah dipersembahkan di kuil-kuil (atau jaman
sekarang disembelih dengan doa dan kiblat agama tertentu)? Jawaban Rasul Paulus
sangat tegas: boleh. Sebab makanan atau jenis pakaian tidak membuat kita
semakin dekat atau jauh dari Kristus (II Korintus 8:1-11). Pertanyaan yang sama
diajukan oleh orang Yahudi-Kristen di gereja Roma: bolehkah orang Kristen makan
babi dan atau bercampur darah hewan dan semua jenis binatang yang diharamkan
oleh kitab Imamat di Perjanjian Lama? Jawaban Rasul Paulus: boleh saja. Sebab
Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman tetapi soal kebenaran, damai
sejahtera dan sukacita Roh Kudus (Roma 14:17). Analoginya sama: bolehkah kita
orang Kristen memakai ulos? Jawabnya : boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan
soal kostum, jenis tekstil atau mode tertentu, tetapi soal kebenaran, damai
sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.
Sebagaimana telah dikatakan di atas, pada masa lalu ulos adalah medium
(pengantara) pemberian berkat hula-hula kepada boru. Pada masa sekarang, bagi
kita komunitas Kristen-Batak ulos bukan lagi medium, tetapi sekedar sebagai
simbol atau tanda doa (permohonan berkat Tuhan) dan kasih hula-hula kepada
boru. Dengan atau tanpa memberi ulos, hula-hula dapat berdoa kepada Allah dan
Tuhan Yesus Kristus memohon berkat untuk borunya. Ulos adalah simbol doa dan
kasih hula-hula kepada boru. Kedudukannya sama dengan simbol-simbol lainnya:
bunga, cincin, sapu tangan, tongkat dll.
5. NILAI
ULOS BAGI KITA ORANG KRISTEN MODEREN
Sebab itu
bagi kita komunitas Kristen-Batak moderen ulos warisan leluhur itu tetap
bernilai atau berharga minimal karena 4 (empat) hal:
Pertama: siapa yang memberikannya. Ulos itu berharga karena orang yang memberikannya
sangat kita hargai atau hormati. Ulos itu adalah pemberian mertua atau tulang
atau hula-hula kita. Apapun yang diberikan oleh orang-orang yang sangat kita
hormati dan menyayangi kita – ulos atau bukan ulos – tentu saja sangat berharga
bagi kita.
Kedua: kapan
diberikan. Ulos itu
berharga karena waktu, even atau momen pemberiannya sangat penting bagi kita.
Ulos itu mengingatkan kita kepada saat-saat khusus dalam hidup kita saat ulos
itu diberikan: kelahiran, pernikahan, memasuki rumah dll. Apapun pemberian
tanda yang mengingatkan kita kepada saat-saat khusus itu – ulos atau bukan ulos
– tentu saja berharga bagi kita.
Ketiga: apa yang diberikan. Ulos itu berharga karena tenunannya memang sangat khas dan indah. Ulos
yang ditenun tangan tentu saja sangat berharga atau bernilai tinggi karena kita
tahu itu lahir melalui proses pengerjaan yang sangat sulit dan memerlukan
ketekunan dan ketrampilan khusus. Namun tidak bisa dipungkiri sekarang banyak
sekali beredar ulos hasil mesin yang mutu tenunannya sangat rendah.
Keempat:
pesan yang ada dibalik pemberian ulos. Selanjutnya ulos itu berharga karena dibalik
pemberiannya ada pesan penting yang ingin disampaikan yaitu doa dan nasihat.
Ketika orangtua atau mertua kita, atau paman atau ompung kita, menyampaikan
ulos itu dia menyampaikan suatu doa, amanat dan nasihat yang tentu saja akan
kita ingat saat kita mengenakan atau memandang ulos pemberiannya itu.
Disini kita tentu saja harus jujur dan kritis. Bagaimana mungkin kita
menghargai ulos yang kita terima dari orang yang tidak kita kenal, pada waktu
sembarangan secara masal, dengan kualitas tenunan asal-asalan? Tidak mungkin.
Sebab itu komunitas Batak masa kini harus serius menolak trend atau
kecenderungan sebagian orang “mengobral ulos”: memberi atau menerima ulos
secara gampang. Ulos justru kehilangan makna karena terlalu gampang memberi
atau menerimanya dan atau terlalu banyak. Bagaimana kita bisa menghargai ulos
sebanyak tiga karung?
6. SIAPA
MEMBERI – SIAPA MENERIMA?
Dalam Batak
ulos adalah simbol pemberian dari pihak yang dianggap lebih tinggi kepada pihak
yang dianggap lebih rendah. Namun keadaan kadang membingungkan. Ulos diberikan
juga justru kepada orang yang dianggap pemimpin atau sangat dihormati. Dalam
kultur Batak padahal ulos tidak pernah datang dari “bawah”. Lantas mengapa kita
kadang memberi ulos kepada pejabat yang justru kita junjung, atau kepada
pemimpin gereja yang sangat kita hormati? Bukankah merekalah yang seharusnya
memberi ulos (mangulosi)? Kebiasaan memberi ulos kepada Kepala Negara atau
Eforus (pimpinan gereja) selain mereduksi makna ulos juga sebenarnya
merendahkan posisi kepala negara dan pemimpin gereja itu.
7. HANYA
SALAH SATU CIRI KHAS
Ulos memang
salah satu ciri khas Batak. Namun bukan satu-satunya ciri kebatakan. Bahkan
sebenarnya ciri khas Batak yang terutama bukanlah ulos (kostum, tekstil),
tetapi bius dan horja, demokrasi, parjambaran, kongsi dagang, dan dalihan na
tolu. Posisi ulos menjadi sentral dan terlalu penting justru setelah budaya
Batak mengalami reduksi yaitu diminimalisasi sekedar ritus atau seremoni
pernikahan yang sangat konsumtif dan eksibisionis. Hanya dalam rituslah kostum
atau tekstil menjadi dominan. Dalam aksi sosial atau perjuangan keadilan
politik, ekonomi, sosial dan budaya kostum nomor dua. Inilah tantangan utama
kita: mengembangkan wacana atau diskursus kebatakan kita yang lebih substantif
atau signifikan bagi kemajuan masyarakat dan bukan sekadar meributkan asesori
atau kostum belaka.
8. ULOS
DITERIMA DENGAN CATATAN
Ekstrim
pertama: Sebagian
orang Kristen-Batak menolak ulosnya karena dianggap sumber kegelapan. Padahal
darah Tuhan Yesus yang tercurah di Golgota telah menebus dan menguduskan tubuh
dan jiwa serta kultur Batak kita. Ulos artinya telah boleh dipergunakan untuk
memuliakan Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus.
Ekstrim yang
lain: Sebagian
orang Kristen-Batak mengeramatkan ulosnya. Mereka menganggap ulos itu keramat,
tidak boleh dijual, tidak boleh dipakai. Mereka lupa bahwa Kristus-lah
satu-satunya yang berkuasa dan boleh disembah, bukan warisan nenek moyang
termasuk ulos.
Sikap kristiani: Tantangan bagi kita komunitas Kristen-Batak sekarang adalah
menempatkan ulos pada proporsinya: kostum atau tekstil khas Batak. Tidak lebih
tidak kurang. Bukan sakral dan bukan najis. Jangan ditolak dan jangan
dikeramatkan! Jangan dibuang dan jangan cuma disimpan!
Posted:
15/03/2011 in BATAK
Marga Batak
Toba adalah
marga pada Suku Batak Toba yang berasal dari daerah di
Sumatera Utara, terutama berdiam di Kabupaten
Tobasa yang wilayahnya meliputi Balige, Porsea, Laguboti, dan
sekitarnya. Orang Batak selalu memiliki
nama marga/keluarga.
Nama / marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah
(patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus
menerus.
ASAL
USUL
Menurut
kepercayaan bangsa Batak, induk marga Batak
dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang
Batak. Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putra yakni Guru Tatea
Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan sendiri mempunyai 5 (lima) orang
putra yakni Raja Uti (Raja Biakbiak), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan
Malau Raja. Sementara Si Raja
Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan
Sorimangaraja, Si
Raja Asiasi dan Sangkar
Somalidang.
Dari
keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjuru
daerah di Tapanuli baik ke utara maupun ke selatan sehingga munculah berbagai
macam marga Batak. Semua marga-marga ini dapat dilihat kedudukan dari Si Raja
Batak di Tarombo.
Legenda
mengenai bagaimana Si Raja Batak dapat disebut sebagai asal mula orang Batak
masih perlu dikaji lebih dalam.
Sebenarnya
Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Tobasa, dan Samosir
sekarang tidaklah semuanya Toba.Sejak masa Kerajaan Batak hingga
pembagian wilayah yang didiami suku Batak ke dalam beberapa distrik oleh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Tanah
Batak dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar, yaitu: – Samosir (Pulau
Samosir dan sekitarnya); contoh: marga Simbolon,Sagala, dsb – Toba (Balige,
Laguboti,Porsea, Parsoburan, Sigumpar, dan sekitarnya); contoh: marga Sitorus,
Marpaung, dsb – Humbang (Dolok Sanggul, Lintongnihuta, Siborongborong, dan
sekitarnya); contoh: marga Simatupang Siburian, Sihombing Lumban Toruan, dsb –
Silindung (Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya); contoh: marga Naipospos
(Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun), Huta Barat,dsb
HUBUNGAN ANTAR MARGA
Hubungan
antar marga di masing-masing suku Batak berbeda jenisnya. Pada Suku Batak
(Samosir-Toba-Humbang-Silindung) hubungan marga ini dapat dilihat dari asal muasal
marga tersebut pada garis keturunan Raja Batak. Semakin dekat dengan Raja
Batak, maka semakin dituakanlah marga tersebut.
Satu hal
yang pasti, 2 orang yang bermarga sejenis (tidak harus sama) secara hukum adat
tidak diperbolehkan untuk menikah. Pelanggaran terhadap hukum ini akan mendapat
sangsi secara adat.
Tidak ada
pengklasifikasian tertentu atas jenis-jenis marga ini, namun marga-marga
biasanya sering dihubungkan dengan rumpunnya sebagaimana Bahasa Batak. Misalnya Simatupang merupakan
perpaduan dari putranya marga Togatorop, Sianturi, dan Siburian yang ada di
wilayah HUMBANG. Naipospos merupakan perpaduan dari kelima putranya
yang secara berurutan, yaitu marga Sibagariang, Huta Uruk, Simanungkalit,
Situmeang, dan Marbun yang berada di wilayah SILINDUNG, dan
sebagainya.
TAROMBO
Silsilah
atau tarombo merupakan cara orang batak menyimpan daftar silsilah marga mereka
masing-masing dan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak.
Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai “orang
Batak kesasar” (nalilu). Orang Batak khusunya lelaki diwajibkan
mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan
teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak
kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Beberapa
contoh artikel yang membahas tarombo dari marga-marga Batak yaitu:
- Raja Naipospos,
yang mempunyai lima putera dan menurunkan marga Sibagariang, Hutauruk,
Simanungkalit, Situmeang, Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, Marbun
Lumban Gaol
- Si Opat Pusoran, yang menurunkan marga
Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea, Lumban Tobing
bentuk klan
adalah berupa suatu kumpulan orang per orang yang mempunyai satu bapak dan bisa
beberapa ibu, karena suku batak menganut parternalistik
Posted:
15/03/2011 in BATAK
Di Sumatera
Utara terdapat danau yang sangat besar dan ditengah-tengah danau tersebut
terdapat sebuah pulau. Danau itu bernama Danau Toba sedangkan pulau ditengahnya
dinamakan Pulau Samosir. Konon danau tersebut berasal dari kutukan dewa.
Di sebuah
desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang petani yang rajin
bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya
dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup
untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang
cerah, petani itu memancing ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari ini aku
mendapat ikan yang besar,” gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat
setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera
menarik kailnya. Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan
cukup besar.
Ia takjub
melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas
kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan.
“Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi
memakanku.” Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena
keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak
berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita.
“Bermimpikah aku?,” gumam petani.
“Jangan
takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu
karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu. “Namaku Puteri,
aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu,” kata gadis itu seolah mendesak.
Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada
satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa
asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi
petaka dahsyat.
Setelah
sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama
petani tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,” gumam mereka.
Petani merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus
bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun
dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu hidup tanpa kekurangan
dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk yang
dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. “Aku tahu Petani itu pasti
memelihara makhluk halus! ” kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke
telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan
semakin rajin bekerja.
Setahun
kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena istri Petani
melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan mereka
tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang sehat
dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan
yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang
seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.
Lama
kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu
pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan Petani
agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun
dia itu anak kita!” kata Petani kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran
seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Puteri kepada
suaminya.
Memang kata
orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu. Pada suatu
hari, Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana
ayahnya sedang bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani menunggu
kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah.
Di lihatnya Putera sedang bermain bola. Petani menjadi marah sambil menjewer
kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !,”
umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.
Setelah
petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang
lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba
menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Petani dan desa
sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk
sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal
dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama
Pulau Samosir.
Posted:
15/03/2011 in BATAK
Pengingkaran
Marga, Sebuah Tragedi Kepribadian Mirip Kasus Si Malin Kundang.
agi
orang Batak,
marga adalah warisan yang bernilai sangat tinggi. Marga
ibarat
sebuah mahkota bagi seorang Batak (dalam tulisan singkat ini yang dibicarakan
adalah Batak Toba), yang diwariskan leluhur secara alamiah (dengan sendirinya).
Begitu seorang bayi Batak lahir, dia sudah langsung menyandang marga ayahnya,
menurut sistem patrilineal yang dianut orang Batak. Dan itu sah, tidak akan ada
suatu kekuatan apapun yang dapat mengingkarinya. Jika yang lahir adalah bayi
laki-laki, maka dia menyandang marga ayahnya sebagai penerus marga ke generasi berikutnya.Dan
kalau yang lahir bayi perempuan, dia juga akan menyandang marga ayahnya,
meskipun (karena dia boru) marga itu tidak lagi berkelanjutan karena Batak
tidak menganut sistem garis keibuan (matrilineal).
Ketika
seorang boru Batak kawin dengan marga lain, status yang disandangnya menurut
sistem Dalihan Natolu, adalah sebagai “boru” dan marga suaminya otomatis
menjadi hula-hula. Makanya istilah ” na maranak marboru” di lingkungan Batak
Toba, sangat strategis, tergantung konteks adat keseharian. Hari ini bisa dalam
posisi boru, tapi lain waktu posisinya menjadi hula-hula atau dongan tubu. Bila
yang melaksanakan hajatan adat adalah pihak marga saudara laki-laki, tentu
posisi keluarga saudara perempuan adalah boru, dan pihak saudara laki-laki
sebagai hula-hula. Hal itu suatu aturan yang absolut dalam frame (bingkai)
Dalihan Natolu.
Karena itu,
sekalipun seorang anak perempuan tidak mewariskan marganya pada keturunannya
(karena Batak tidak menganut garis keibuan), bukan berarti marga itu tidak
berarti. Karena dari marga seorang ibu lah yang kemudian menentukan adanya Bona
ni ari, bona hula, bona tulang, atau tulang. Dan ketika satu saat seorang
ibu/isteri meninggal dunia, pihak hula-hula itulah (sebagai yang empunya boru)
yang berhak menyampaikan saput. Begitu pula ketika seorang ibu/isteri itu yang
mabalu (menjanda) ditinggal suami yang meninggal, pihak hula-hula itu yang
berhak mengenakan tujung baginya.
Dari uraian
sederhana itu, jelas sekali makna strategis marga bagi perempuan Batak. Bahkan
dalam pergaulan sehari-hari, ketika dua orang pria Batak saling berkenalan,
yang pertama sekali ditanya bukanlah apa pekerjaan atau dimana rumah, melainkan
marga apa.Kemudian dalam konteks lebih detil, muncul pertanyaan yang biasa
terdengar :” Ai boru aha ma dialap hamu” (boru apa orang rumah). Dari
penyebutan marga orang rumah, dapat diketahui posisi menurut tarombo (silsilah
Batak). Bila ternyata sama dengan marga si penanya, tentu si penanya berstatus
hula-hula. Atau kadang bisa ditarik lagi dalam lingkup yang lebih luas,
misalnya dari kesatuan marga tertentu.Apakah misalnya persamaan dari Si Raja
Lontung, Si Bagot Ni Pohan, Parna, Oppu Tuan Somanimbil, Tuan Sihubil, dan
sebagainya.
PENGINGKARAN
MARGA
Dengan
demikian, sangatlah mengejutkan dan mengherankan, tatkala suatu ketika kita
mendengar ada seorang boru Batak tiba-tiba mengingkari marga aslinya menjadi
marga yang lain. Tentu timbul pertanyaan, fenomena apakah itu gerangan? Apakah
sekadar hanya kekeliruan, atau ketidakpahaman tentang makna marga, ataukah
kesengajaan bermotif tertentu, ataukah ada factor penyebab lain yang
dirahasiakan?
Contoh
kasus, sebutlah demikian: Ada seorang ibu melahirkan bayi perempuan di satu
tempat. Karena suaminya bermarga S, tentu otomatis sang bayi itu menyandang
marga suami ibunya yang notabene adalah ayahnya. Dalam hal ini kita tidak
berniat melontarkan suatu penyelidikan kritis bernuansa tanda tanya karena kita
tidak ingin terperangkap melanggar kode etik. Lalu, pendek cerita tatkala umur
sang bayi masih 4 hari, sang ayah meninggal dunia.Sebuah kenyataan pahit
memang, tapi sering menimpa banyak bayi lain di dunia ini. Saat baru menghirup
udara kehidupan, tak sempat mengenal sang ayah. Itu memang terasa pedih. Kisah
sedih itu kemudian berganti warna. Menjelang usia si bayi menapak tahun ke 3,
sang ibu menikah dengan lelaki marga lain, katakanlah marga P. Sejak saaat itu,
otomatis si bayi boru S tadi dibesarkan dalam keluarga yang dipimpin marga P
(istilah Batak “dipagodang-godang”). Apakah sejak saat itu, dalam kepribadian
si anak sudah melekat kedekatan pada marga ayah tirinya, ataukah ada factor
lain yang dirahasiakan, kurang jelas diketahui. Tapi diketahui kemudian, bahwa
dalam proses keadministrasian si anak tidak ada tercantum penggunaan marga
aslinya (S), hanya dicantumkan nama semata,apakah itu dalam surat baptis, surat
sidi, atau ijajah-ijajah. Tapi kenapa? Tentu hanya orangtuanya yang tahu.
Apakah itu bagian dari sebuah program tersendiri, kita juga kurang tahu.
Alkisah, si
anak perempuan pun beranjak dewasa, sampai kemudian kawin dengan seorang pria
yang kini menyandang posisi pemimpin masyarakat berskala kecil di satu desa di
Kecamatan Sipoholon. Menyangkut proses adat keseharian berikutnya, termasuk
mensyukuri kelahiran anak-anak dari perkawinan boru S tadi, pihak kerabat atau
famili dekat seperti amanguda/inang uda atau tulangnya marga P, selalu
terlibat. Itu pertanda bahwa si ibu benar-benar adalah boru S. Banyak saksi
dari keluarga dekat yang masih hidup, dan siap memberi kesaksian untuk
kebenaran soal marga itu.
Lalu masalah
(ataukah ini bernama kemurtadan), muncul,tatkala ibu berstatus pendidik ini mau
“mangadati” sesuai tuntutan adat Batak. Awalnya muncul rumor mengatakan, bahwa
si ibu muda tidak bersedia memakai marganya semula (boru Simanjuntak) melainkan
boru P. Tentu kalangan keluarga dari almarhum ayahnya maupun pihak keluarga
dari ibunya marga Pardede, tercengang, tak habis pikir. Kenapa dia bersikap
seperti itu? Apakah karena dia sejak kecil dalam ruang lingkup ayah tirinya
marga P, menjadi alasan bahwa dia bukan lagi boru S melainkan boru P? Sebegitu
gampangnya kah mengingkari dan merobah marga? Sebegitu rendahnya kah
keperibadiannya sebagai boru Batak untuk menghapus sejarah yang melekat pada
dirinya? Seribu satu pertanyaan pun muncul.
Lobbi atau
pendekatan demi pendekatan sudah acap dilakukan pihak keluarga dekat dari ayah
kandung ibu muda yang mengingkari marganya ini. Termasuk ke kalangan marga ayah
tirinya. Tapi jawaban yang diterima, bersandar pada sikap “paku mati” dari yang
bersangkutan, yang terus ngotot menyatakan dirinya bukan boru S tapi boru P.
Sampai dekat hari H pesta adat mereka, jawaban tetap itu juga. Sudah paku mati,
bahwa dia adalah boru P,bukan boru S.
Adalah
M.Simanjuntak, amanguda kandung (adik ayah) pengingkar marganya itu, yang kesal
amat menerima kenyataan pahit itu.” Banyak saksi hidup termasuk saya, bahwa dia
adalah anak kandung dari abang saya. Kalau dia sekarang tidak lagi mengakuinya,
yah biarlah dia yang menanggung dosa ingkarnya itu, tapi kalau kami tetap
menganggapnya sebagai anak abang kami yang sudah meninggal”,ujar M.Simanjuntak
menegaskan, seraya menguraikan silsilah mereka luar kepala.
Maka, apapun ceritanya, yang pasti pesta adat itu sudah berlangsung. Dan ibu
muda boru S itu benar-benar diadati sebagai boru P, di sebuah desa tanggal 9
Juni yang lalu.
Tragiskah
namanya, atau aneh, atau harus disebut luar biasa. Barangkali sebutan terakhir
itu yang paling pantas mengomentari kasus ini. Sebuah studi kasus barangkali
buat mereka yang dipercayakan mengemban masalah adat di Lembaga Adat Dalihan
Natolu. Andaikata si ibu ingkar itu adalah boru sileban (istilah buat wanita
dari suku diluar Batak), tentu masalahnya lain,ujar seorang tetua adat
mengamati perkembangan kejadian itu. Sebab seorang wanita sileban bisa saja
“diappu” (ditabalkan) bermarga tertentu, tanpa serumit penabalan seorang pria.
Tetapi kalau seorang wanita Batak yang jelas bermarga lalu mengingkarinya serta
beralih ke marga lain, itu sudah luar biasa, dan belum pernah terjadi dalam
sejarah Batak.” Pengingkaran marga itu sama artinya pengingkaran terhadap
keabsahan orangtua kandung, dan pengingkaran tentang keabsahan itu identik
dengan kedurhakaan seperti yang terjadi pada hikayat Minangkabau Si Malin
Kundang, atau dalam versi Batak Si Mardan na Mansoadahon Inana”, kata orangtua
itu menganalisis.
Tetapi dalam
konteks hikayat klasik Malin Kundang maupun Si Mardan, versinya beda. Si Malin
misalnya (menurut versi cerita Minang), tega meniadakan ibu kandungnya hanya
karena perasaan malu kalau dia punya ibu yang miskin di kampung. Malin adalah
pria ambisius yang mau mengubur jati diri aslinya demi prestise dan demi
cita-citanya menjadi orang terpandang. Akhir kisahnya tragis, dia dikutuk
menjadi batu. Demikian halnya Si Mardan dalam legende Tapanuli. Kedua kisah itu
memfokuskan figur ibu sebagai tokoh sentral yang menjadi korban kedurhakaan.
Sebaliknya
dalam kasus wanita boru S yang berubah menjadi boru P tadi, justru dengan
ibunya baik-baik saja. Yang diingkari bukan keberadaan ibu, melainkan keabsahan
marga aslinya. Dan pengingkaran marga asli yang turun dari ayah, barangkali
bisa dikonotasikan pengingkaran terhadap “keabsahan” sang ayah. Apakah ini
bukan termasuk paradigma baru dari kisah kedurhakaan seperti Malin Kundang?
Pertanyaan ini dapat dijawab siapapun juga menurut tafsir atau persepsi
masing-masing. Ataukah ini boleh disebut ” sebuah tragedy kepribadian mirip Si
Malin Kundang atau Si Mardan? Terserah.
Posted:
15/03/2011 in BATAK
Konteks
kehidupan suku batak sebelum injil masuk
Suku Batak
adalah salah satu suku di Indonesia yang mempertahankan kebudayaanya, memegang
teguh tradisi dan adat. Pada masa lampau orang batak tidak suka terhadap orang
luar (Barat/’’sibontar mata’’) kerena mereka dianggap sebagai penjajah. Selain
itu, ada paham bagi mereka bahwa orang yang berada di luar suku mereka adalah
musuh, sebab masa itu sering terjadi perang antar suku. Sebelum Injil masuk,
suku Batak adalah suku penyembah berhala. Kehidupan agamanya bercampur, antara
menganut kepercayaan animisme, dinamisme dan magi. Ada banyak nama dewa atau
begu (setan) yang disembah, seperti ‘’begu djau’’ (dewa yang tidak dikenal
orang ), begu antuk (dewa yang memukul kepala seseorang sebelum ia mati), begu siherut(dewa
yang membuat orang kurus tinggal kulit),dll.
Suku Batak
hidup dengan bercocok tanam, berternak hewan dan berladang. Hasil dari
perternakan dan cocok tanam mereka jual ke pasar pada hari tertentu. Di pasar
mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti membeli beras,
garam, tembakau dll. Keadaan yang dinamis ini sering terusik oleh permusuhan
antara satu kampung dengan kampung lainya. Tidak jarang permusuhan berakibat
pembunuhan dan terjadi saling balas dendam turun-temurun. Jika di kampung
terjadi wabah, seperti pes dan kolera, mereka akan meminta pertolongan Raja
Sisingamangaraja yang berada di Bakkara. Raja Si Singamangaraja pun datang dan
melakukan upacara untuk menolak bala dan kehancuran. Hampir semua roda
kehidupan orang Suku Batak dikuasai oleh aturan-aturan adat yang kuat. Mulai
lahirnya seorang anak, beranjak dewasa, kemudian menikah, memiliki anak hingga
meninggal harus mengikuti ritual-ritual adat.
Masuknya
penginjil ke tanah batak utusan pekabaran injil baptis Inggris
Pada tahun
1820 tiga utusan Pekabaran Injil Baptis Inggris yaitu Nathan Ward, Evans dan
Richard Burton dikirim ke Bengkulu untuk menjumpai Raffles. Kemudian Raffles
menyarankan supaya mereka pergi ke Utara, ke daerah tempat tinggal suku Batak
yang masih kafir. Burton dan Ward menuruti petunjuk Raffles. Mereka pergi ke
Utara, awalnnya mereka bekerja di pesisir, kemudian tahun 1824 masuk ke daerah
lebih dalam lagi, yakni Silindung-wilayah suku Batak Toba. Saat mereka tiba di
Silindung, mereka diterima dengan baik oleh raja setempat, namun perjalanan
penginjilan mereka terhenti ketika terjadi salah paham dengan penduduk.
Penduduk salah menafsir khotbah penginjil tersebut yang mengatakan kerajaan
mereka harus menjadi lebih kecil, seperti anak kecil. Penduduk tidak suka hal
ini maka para penginjil tersebut diusir pada tahun itu juga.
Penginjil
utusan American Board of Commissioners for Foreign Mission
Kemudian
tahun 1834 dua orang Amerika, yaitu Munson dan Lyman yang merupakan utusan
gereja Kongregationalis Amerika yang diutus oleh The American Board of
Commissioners for Foreign Mission (ABCFM) di Boston masuk ke Sumatera. Pada 17
Juni 1834 mereka tiba di Sibolga dan menetap beberapa hari di sana. Kemudian 23
Juni 1834 mereka berangkat menuju pegunungan Silindung. Dalam perjalanan,
ketika tiba di pinggir Lembah Silindung, malam hari 28 Juni 1834 mereka
dihadang, ditangkap dan dibunuh di dekat Lobu Pining. Pembunuh penginjil
tersebut adalah Raja Panggalamei (Raja di Pintubosi yang tinggal di Singkak)
bersama dengan rakyatnya.
Penginjil
utusan Rheinische Missions Geselschaf
Tahun 1840
seorang ilmuan berkebangsaan Jerman F. Junghuhn melakukan perjalanan ke daerah
Batak dan kemudian menerbitkan karangan tentang suku Batak. Karangan tersebut
sampai ke tangan tokoh-tokoh Lembaga Alkitab di Belanda, hingga mereka mengirim
seorang ahli bahasa bernama H. Neubronner van der Tuuk (tuan yang
berkecukupan). Van der Tuuk adalah orang Barat pertama yang melakukan
penelitian ilmiah tentang bahasa Batak, Lampung, Kawi, Bali. Ia juga orang
Eropa pertama yang menatap Danau Toba dan bertemu dengan Si Singamangaraja. Ia
merasa senang berkomunikasi dan menyambut orang Batak di rumahnya. Van der tuuk
memberi saran supaya lembaga zending mengutus para penginjil ke Tapanuli,
langsung ke daerah pedalamannya. Untuk menunjang masukannya tersebut, ia
menyusun sebuah kamus, mengumpulkan cerita, pribahasa, dan menerjemahkan Injil
dan beberapa bagian Alkitab ke dalam bahasa Batak. Tahun 1857 pekabar Injil G
Van Asselt utusan dari jemaat kecil di Ermelo, Belanda melakukan pelayanan di
Tapanuli. Ia menembus beberapa pemuda dan memberi mereka pengajaran Kristiani,
pada 31 Maret 1861 dua orang Batak pertama dibaptis, yaitu: Jakobus Tampubolon
dan Simon Siregar. Tahun ini juga, tepatnya 07 Oktober 1961 diadakan rapat
empat pendeta di Sipirok, yaitu Pdt. Heine, Pdt. Klemmer,(pendeta Jerman) dan
Pdt. Betz, dan Pdt. Ansselt(Pendeta Belanda) untuk menyerahkan misi penginjilan
kepada Rheinische Missions Geselschaf. Hari ini dianggap menjadi hari
berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Kemudian Ludwig Ingwer
Nommensen (1834-1918) tiba di Padang pada tahun 1862. Ia menetap di Barus
beberapa saat untuk belajar bahasa dan adat Batak dan Melayu. Ia tiba melalui
badan Misi Rheinische Missions Geselschaf. Kemudian tahun 1864 ia masuk ke
dearah Silindung, mula-mula di Huta Dame, kemudian di Pearaja (kini menjadi
kantor pusat HKBP).
Dalam
menyampaikan Injil, Nommensen dibantu oleh Raja Pontas Lumban Tobing (Raja
Batak Pertama yang dibaptis) untuk mengantarnya dari Barus ke Silindung dengan
catatan tertulis bahwa ia tidak bertanggung jawab atas keselamatannya. Pada
awalnya Nommensen tidak diterima baik oleh penduduk, karena mereka takut kena
bala karena menerima orang lain yang tidak memelihara adat. Pada satu saat,
diadakan pesta nenek moyang Siatas Barita, biasanya disembelih korban. Saat
itu, Sibaso(Pengantara orang-orang halus) sesudah kerasukan roh menyuruh orang
banyak untuk membunuh Nommensen sebagai korban, yang pada saat itu hadir di
situ. Dalam keadaan seperti ini, Nommensen hadir ke permukaan dan berkata
kepada orang banyak: Roh yang berbicara melalui orang itu sudah banyak
memperdaya kalian. Itu bukan roh Siatas Barita, nenekmu, melainkan roh jahat.
Masakan nenekmu menuntut darah salah satu dari keturunanya! Segera Sibaso jatuh
ke tanah. Menghadapi keadaan yang menekan, Nommensen tetap ramah dan lemah
lembut, hingga lama-kelamaan membuat orang merasa enggan dan malu berbuat tidak
baik padanya. Pada satu malam ketika para raja berada di rumahnya hingga larut
malam dan tertidur lelap, Nommensen mengambil selimut dan menutupi badan
mereka, hingga pagi hari mereka terbangun dan merasa malu, melihat perbuatan
baik Nommensen. Sikap penolakan raja batak ini disebabkan kekhwatiran bahwa
Nommensen adalah perintisan dari pihak belanda.
Perkembangan
kekristenan setelah Injil masuk
Suku Batak
yang masuk Kristen mendapat tekanan dan diusir dari kampung halamanya karena
tidak mau memberi sumbangan untuk upacara-upacara suku. Keadaan seperti ini
mamaksa mereka berkumpul pada satu kampung tersendiri, yaitu [Huta Dame]
(kampung damai). Setelah tujuh tahun Nommensen melakukan penginjilan, orang
Batak yang masuk Kristen berjumlah 1.250 jiwa. Sepuluh tahun kemudian 1881
jumlahnya naik lima kali lipat, hingga jumlah orang Batak yang masuk Kristen
adalah sekitar 6.250 orang. Pada tahun 1918 sudah tercatat 185.731 orang
Kristen di wilayah RMG Sumatera Utara. Tahun 1881 Nommensen diangkat menjadi
menjadi Ephorus oleh RMG, jabatan tersebut dipegangnya hingga ia meninggal 23
Mei 1918. Suku batak memberi gelar kepada Nommensen dengan sebutan ‘’Ompu i’’
(Nenek Kita), gelar ini memposisikan Nommensen sama dengan Si Singamangaraja
atau tokoh sakti lainya.
Archive for the ‘BATAK’ Category
Posted:
16/03/2011 in BATAK
1. HASIL
PERADABAN
Ulos (lembar
kain tenunan khas tradisional Batak) pada hakikatnya adalah hasil peradaban
masyarakat Batak pada kurun waktu tertentu. Menurut catatan beberapa ahli ulos
(baca: tekstil) sudah dikenal masyarakat Batak pada abad ke-14 sejalan dengan
masuknya alat tenun tangan dari India. Hal itu dapat diartikan sebelum masuknya
alat tenun ke Tanah Batak masyarakat Batak belum mengenal ulos (tekstil). Itu
artinya belum juga ada budaya memberi-menerima ulos (mangulosi). Kenapa?
Karena nenek-moyang orang Batak masih mengenakan cawat kulit kayu atau tangki.
Pertanyaan: lantas apakah yang diberikan hula-hula kepada boru pada jaman
sebelum masyarakat Batak mengenal alat tenun dan tekstil tersebut?
Pertanyaan
itu hendak menyadarkan komunitas Kristen-Batak untuk menempatkan ulos pada
proporsinya. Ulos pada hakikatnya adalah hasil sebuah tingkat peradaban dalam
suatu kurun sejarah. Ulos pada awalnya adalah pakaian sehari-hari masyarakat
Batak sebelum datangnya pengaruh Barat. Perempuan Batak yang belum menikah
melilitkannya di atas dada sedangkan perempuan yang sudah menikah dan punya
anak atau laki-laki cukup melilitkannya di bawah dada (buha baju). Ulos juga
dipakai untuk mendukung anak (parompa), selendang (sampe-sampe)
dan selimut (ulos) di malam hari atau di saat kedinginan.
Dalam
perkembangan sejarah nenek-moyang orang Batak mengangkat kostum atau tekstil
(pakaian) sehari-hari ini menjadi simbol dan medium pemberian hula-hula kepada
boru (pihak yang lebih dihormat kepada pihak yang lebih menghormat).
2. MAKNA
AWAL
Secara
spesifik pada masa pra-kekeristenan ulos atau tekstil sehari-hari itu dijadikan
medium (perantara) pemberian berkat (pasu-pasu) dari mertua kepada
menantu/ anak perempuan, kakek/nenek kepada cucu, paman (tulang) kepada
bere, raja kepada rakyat. Sambil menyampaikan ulos pihak yang dihormati ini
menyampaikan kata-kata berupa berkat (umpasa) dan pesan (tona)
untuk menghangatkan jiwa si penerima. Ulos sebagai simbol kehangatan ini
bermakna sangat kuat, mengingat kondisi Tanah Batak yang dingin. Dua lagi
simbol kehangatan adalah: matahari dan api.
Bagi nenek-moyang Batak yang pra-Kristen selain ulos itu an sich yang
memang penting, juga kata-kata (berkat atau pesan) yang ingin disampaikan
melalui medium ulos itu. Kita juga mencatat secara kreatif nenek-moyang Batak
juga menciptakan istilah ulos na so ra buruk (ulos yang tidak bisa
lapuk), yaitu tanah atau sawah. Pada keadaan tertentu hula-hula dapat juga
memberi sebidang tanah atau ulos yang tidak dapat lapuk itu kepada borunya.
Selain itu juga dikenal istilah ulos na tinonun sadari (ulos yang
ditenun dalam sehari) yaitu uang yang fungsinya dianggap sama dengan ulos.
Ulos yang
panjangnya bisa mencapai kurang lebih 2 meter dengan lebar 70 cm (biasanya
disambung agar dapat dipergunakan untuk melilit tubuh) ditenun dengan tangan.
Waktu menenunnya bisa berminggu-minggu atau berbulan-bulan tergantung tingkat
kerumitan motif. Biasanya para perempuan menenun ulos itu di bawah kolong
rumah. Sebagaimana kebiasaan jaman dahulu mungkin saja para penenun pra-Kristen
memiliki ketentuan khusus menenun yang terkait dengan kepercayaan lama mereka.
Itu tidak mengherankan kita, sebab bukan cuma menenun yang terkait dengan agama
asli Batak, namun seluruh even atau kegiatan hidup Batak pada jaman itu.
(Yaitu: membangun rumah, membuat perahu, menanam padi, berdagang, memungut
rotan, atau mengambil nira). Mengapa? Karena memang mereka pada waktu itu belum
mengenal Kristus! Sesudah nenek moyang kita mengenal Kristus, mereka tentu
melakukan segala aktivitas itu sesuai dengan iman Kristennya, termasuk menenun
ulos!
3.
PERGESERAN MAKNA ULOS
Masuknya
Injil melalui para misionaris Jerman penjajahan Belanda harus diakui
sedikit-banyak juga membawa pergeseran terhadap makna ulos. Nenek-moyang Batak
mulai mencontoh berkostum seperti orang Eropah yaitu laki-laki berkemeja dan
bercelana panjang dan perempuan Batak (walau lebih lambat) mulai mengenal gaun
dan rok meniru pola berpakaian Barat. Ulos pun secara perlahan-lahan mulai
ditinggalkan sebagai kostum atau pakaian sehari-hari kecuali pada even-even
tertentu. Ketika pengaruh Barat semakin merasuk ke dalam kehidupan Batak,
penggunaan ulos sebagai pakaian sehari-hari semakin jarang. Apa akibatnya?
Makna ulos sebagai kostum sehari-hari (pakaian) berkurang namun konsekuensinya
ulos (karena jarang dipakai) jadi malah dianggap “keramat”. Karena lebih banyak
disimpan ketimbang dipergunakan, maka ulos pun mendapat bumbu “magis” atau
“keramat”. Sebagian orang pun mulai curiga kepada ulos sementara sebagian lagi
menganggapnya benar-benar bertuah.
4. ULOS DAN
KEKRISTENAN
Bolehkah
orang Kristen menggunakan ulos? Bolehkah gereja menggunakan jenis kostum atau
tekstil yang ditemukan masyarakat Batak pra-Kristen? Jawabannya sama dengan
jawaban Rasul Paulus kepada jemaat Korintus: bolehkah kita menyantap daging
yang dijual di pasar namun sudah dipersembahkan di kuil-kuil (atau jaman
sekarang disembelih dengan doa dan kiblat agama tertentu)? Jawaban Rasul Paulus
sangat tegas: boleh. Sebab makanan atau jenis pakaian tidak membuat kita
semakin dekat atau jauh dari Kristus (II Korintus 8:1-11). Pertanyaan yang sama
diajukan oleh orang Yahudi-Kristen di gereja Roma: bolehkah orang Kristen makan
babi dan atau bercampur darah hewan dan semua jenis binatang yang diharamkan
oleh kitab Imamat di Perjanjian Lama? Jawaban Rasul Paulus: boleh saja. Sebab
Kerajaan Allah bukan soal makanan atau minuman tetapi soal kebenaran, damai
sejahtera dan sukacita Roh Kudus (Roma 14:17). Analoginya sama: bolehkah kita
orang Kristen memakai ulos? Jawabnya : boleh saja. Sebab Kerajaan Allah bukan
soal kostum, jenis tekstil atau mode tertentu, tetapi soal kebenaran, damai
sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus.
Sebagaimana telah dikatakan di atas, pada masa lalu ulos adalah medium
(pengantara) pemberian berkat hula-hula kepada boru. Pada masa sekarang, bagi
kita komunitas Kristen-Batak ulos bukan lagi medium, tetapi sekedar sebagai
simbol atau tanda doa (permohonan berkat Tuhan) dan kasih hula-hula kepada
boru. Dengan atau tanpa memberi ulos, hula-hula dapat berdoa kepada Allah dan
Tuhan Yesus Kristus memohon berkat untuk borunya. Ulos adalah simbol doa dan
kasih hula-hula kepada boru. Kedudukannya sama dengan simbol-simbol lainnya:
bunga, cincin, sapu tangan, tongkat dll.
5. NILAI
ULOS BAGI KITA ORANG KRISTEN MODEREN
Sebab itu
bagi kita komunitas Kristen-Batak moderen ulos warisan leluhur itu tetap
bernilai atau berharga minimal karena 4 (empat) hal:
Pertama: siapa yang memberikannya. Ulos itu berharga karena orang yang memberikannya
sangat kita hargai atau hormati. Ulos itu adalah pemberian mertua atau tulang
atau hula-hula kita. Apapun yang diberikan oleh orang-orang yang sangat kita
hormati dan menyayangi kita – ulos atau bukan ulos – tentu saja sangat berharga
bagi kita.
Kedua: kapan
diberikan. Ulos itu
berharga karena waktu, even atau momen pemberiannya sangat penting bagi kita.
Ulos itu mengingatkan kita kepada saat-saat khusus dalam hidup kita saat ulos
itu diberikan: kelahiran, pernikahan, memasuki rumah dll. Apapun pemberian
tanda yang mengingatkan kita kepada saat-saat khusus itu – ulos atau bukan ulos
– tentu saja berharga bagi kita.
Ketiga: apa yang diberikan. Ulos itu berharga karena tenunannya memang sangat khas dan indah. Ulos
yang ditenun tangan tentu saja sangat berharga atau bernilai tinggi karena kita
tahu itu lahir melalui proses pengerjaan yang sangat sulit dan memerlukan
ketekunan dan ketrampilan khusus. Namun tidak bisa dipungkiri sekarang banyak
sekali beredar ulos hasil mesin yang mutu tenunannya sangat rendah.
Keempat:
pesan yang ada dibalik pemberian ulos. Selanjutnya ulos itu berharga karena dibalik
pemberiannya ada pesan penting yang ingin disampaikan yaitu doa dan nasihat.
Ketika orangtua atau mertua kita, atau paman atau ompung kita, menyampaikan
ulos itu dia menyampaikan suatu doa, amanat dan nasihat yang tentu saja akan
kita ingat saat kita mengenakan atau memandang ulos pemberiannya itu.
Disini kita tentu saja harus jujur dan kritis. Bagaimana mungkin kita
menghargai ulos yang kita terima dari orang yang tidak kita kenal, pada waktu
sembarangan secara masal, dengan kualitas tenunan asal-asalan? Tidak mungkin.
Sebab itu komunitas Batak masa kini harus serius menolak trend atau
kecenderungan sebagian orang “mengobral ulos”: memberi atau menerima ulos
secara gampang. Ulos justru kehilangan makna karena terlalu gampang memberi
atau menerimanya dan atau terlalu banyak. Bagaimana kita bisa menghargai ulos
sebanyak tiga karung?
6. SIAPA
MEMBERI – SIAPA MENERIMA?
Dalam Batak
ulos adalah simbol pemberian dari pihak yang dianggap lebih tinggi kepada pihak
yang dianggap lebih rendah. Namun keadaan kadang membingungkan. Ulos diberikan
juga justru kepada orang yang dianggap pemimpin atau sangat dihormati. Dalam
kultur Batak padahal ulos tidak pernah datang dari “bawah”. Lantas mengapa kita
kadang memberi ulos kepada pejabat yang justru kita junjung, atau kepada
pemimpin gereja yang sangat kita hormati? Bukankah merekalah yang seharusnya
memberi ulos (mangulosi)? Kebiasaan memberi ulos kepada Kepala Negara atau
Eforus (pimpinan gereja) selain mereduksi makna ulos juga sebenarnya
merendahkan posisi kepala negara dan pemimpin gereja itu.
7. HANYA
SALAH SATU CIRI KHAS
Ulos memang
salah satu ciri khas Batak. Namun bukan satu-satunya ciri kebatakan. Bahkan
sebenarnya ciri khas Batak yang terutama bukanlah ulos (kostum, tekstil),
tetapi bius dan horja, demokrasi, parjambaran, kongsi dagang, dan dalihan na
tolu. Posisi ulos menjadi sentral dan terlalu penting justru setelah budaya
Batak mengalami reduksi yaitu diminimalisasi sekedar ritus atau seremoni
pernikahan yang sangat konsumtif dan eksibisionis. Hanya dalam rituslah kostum
atau tekstil menjadi dominan. Dalam aksi sosial atau perjuangan keadilan
politik, ekonomi, sosial dan budaya kostum nomor dua. Inilah tantangan utama
kita: mengembangkan wacana atau diskursus kebatakan kita yang lebih substantif
atau signifikan bagi kemajuan masyarakat dan bukan sekadar meributkan asesori
atau kostum belaka.
8. ULOS
DITERIMA DENGAN CATATAN
Ekstrim
pertama: Sebagian
orang Kristen-Batak menolak ulosnya karena dianggap sumber kegelapan. Padahal
darah Tuhan Yesus yang tercurah di Golgota telah menebus dan menguduskan tubuh
dan jiwa serta kultur Batak kita. Ulos artinya telah boleh dipergunakan untuk
memuliakan Allah Bapa, Tuhan Yesus dan Roh Kudus.
Ekstrim yang
lain: Sebagian
orang Kristen-Batak mengeramatkan ulosnya. Mereka menganggap ulos itu keramat,
tidak boleh dijual, tidak boleh dipakai. Mereka lupa bahwa Kristus-lah
satu-satunya yang berkuasa dan boleh disembah, bukan warisan nenek moyang
termasuk ulos.
Sikap kristiani: Tantangan bagi kita komunitas Kristen-Batak sekarang adalah
menempatkan ulos pada proporsinya: kostum atau tekstil khas Batak. Tidak lebih
tidak kurang. Bukan sakral dan bukan najis. Jangan ditolak dan jangan
dikeramatkan! Jangan dibuang dan jangan cuma disimpan!
Posted:
15/03/2011 in BATAK
Marga Batak
Toba adalah
marga pada Suku Batak Toba yang berasal dari daerah di
Sumatera Utara, terutama berdiam di Kabupaten
Tobasa yang wilayahnya meliputi Balige, Porsea, Laguboti, dan
sekitarnya. Orang Batak selalu memiliki
nama marga/keluarga.
Nama / marga ini diperoleh dari garis keturunan ayah
(patrilinear) yang selanjutnya akan diteruskan kepada keturunannya secara terus
menerus.
ASAL
USUL
Menurut
kepercayaan bangsa Batak, induk marga Batak
dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang
Batak. Si Raja Batak mempunyai 2 (dua) orang putra yakni Guru Tatea
Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan sendiri mempunyai 5 (lima) orang
putra yakni Raja Uti (Raja Biakbiak), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan
Malau Raja. Sementara Si Raja
Isumbaon mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan
Sorimangaraja, Si
Raja Asiasi dan Sangkar
Somalidang.
Dari
keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjuru
daerah di Tapanuli baik ke utara maupun ke selatan sehingga munculah berbagai
macam marga Batak. Semua marga-marga ini dapat dilihat kedudukan dari Si Raja
Batak di Tarombo.
Legenda
mengenai bagaimana Si Raja Batak dapat disebut sebagai asal mula orang Batak
masih perlu dikaji lebih dalam.
Sebenarnya
Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Tobasa, dan Samosir
sekarang tidaklah semuanya Toba.Sejak masa Kerajaan Batak hingga
pembagian wilayah yang didiami suku Batak ke dalam beberapa distrik oleh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Tanah
Batak dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar, yaitu: – Samosir (Pulau
Samosir dan sekitarnya); contoh: marga Simbolon,Sagala, dsb – Toba (Balige,
Laguboti,Porsea, Parsoburan, Sigumpar, dan sekitarnya); contoh: marga Sitorus,
Marpaung, dsb – Humbang (Dolok Sanggul, Lintongnihuta, Siborongborong, dan
sekitarnya); contoh: marga Simatupang Siburian, Sihombing Lumban Toruan, dsb –
Silindung (Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya); contoh: marga Naipospos
(Sibagariang, Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang, Marbun), Huta Barat,dsb
HUBUNGAN ANTAR MARGA
Hubungan
antar marga di masing-masing suku Batak berbeda jenisnya. Pada Suku Batak
(Samosir-Toba-Humbang-Silindung) hubungan marga ini dapat dilihat dari asal muasal
marga tersebut pada garis keturunan Raja Batak. Semakin dekat dengan Raja
Batak, maka semakin dituakanlah marga tersebut.
Satu hal
yang pasti, 2 orang yang bermarga sejenis (tidak harus sama) secara hukum adat
tidak diperbolehkan untuk menikah. Pelanggaran terhadap hukum ini akan mendapat
sangsi secara adat.
Tidak ada
pengklasifikasian tertentu atas jenis-jenis marga ini, namun marga-marga
biasanya sering dihubungkan dengan rumpunnya sebagaimana Bahasa Batak. Misalnya Simatupang merupakan
perpaduan dari putranya marga Togatorop, Sianturi, dan Siburian yang ada di
wilayah HUMBANG. Naipospos merupakan perpaduan dari kelima putranya
yang secara berurutan, yaitu marga Sibagariang, Huta Uruk, Simanungkalit,
Situmeang, dan Marbun yang berada di wilayah SILINDUNG, dan
sebagainya.
TAROMBO
Silsilah
atau tarombo merupakan cara orang batak menyimpan daftar silsilah marga mereka
masing-masing dan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak.
Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai “orang
Batak kesasar” (nalilu). Orang Batak khusunya lelaki diwajibkan
mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan
teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak
kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.
Beberapa
contoh artikel yang membahas tarombo dari marga-marga Batak yaitu:
- Raja Naipospos,
yang mempunyai lima putera dan menurunkan marga Sibagariang, Hutauruk,
Simanungkalit, Situmeang, Marbun Lumban Batu, Marbun Banjar Nahor, Marbun
Lumban Gaol
- Si Opat Pusoran, yang menurunkan marga
Hutabarat, Panggabean, Simorangkir, Hutagalung, Hutapea, Lumban Tobing
bentuk klan
adalah berupa suatu kumpulan orang per orang yang mempunyai satu bapak dan bisa
beberapa ibu, karena suku batak menganut parternalistik
Posted:
15/03/2011 in BATAK
Di Sumatera
Utara terdapat danau yang sangat besar dan ditengah-tengah danau tersebut
terdapat sebuah pulau. Danau itu bernama Danau Toba sedangkan pulau ditengahnya
dinamakan Pulau Samosir. Konon danau tersebut berasal dari kutukan dewa.
Di sebuah
desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang petani yang rajin
bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya
dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup
untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari yang
cerah, petani itu memancing ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari ini aku
mendapat ikan yang besar,” gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa saat
setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera
menarik kailnya. Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan
cukup besar.
Ia takjub
melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna kuning emas
kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan.
“Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau tidak jadi
memakanku.” Petani tersebut terkejut mendengar suara dari ikan itu. Karena
keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke tanah. Kemudian tidak
berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita.
“Bermimpikah aku?,” gumam petani.
“Jangan
takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang budi padamu
karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu. “Namaku Puteri,
aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu,” kata gadis itu seolah mendesak.
Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami istri. Namun, ada
satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh menceritakan bahwa
asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi
petaka dahsyat.
Setelah
sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik jelita bersama
petani tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,” gumam mereka.
Petani merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus
bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya dengan tekun
dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu hidup tanpa kekurangan
dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan buruk yang
dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. “Aku tahu Petani itu pasti
memelihara makhluk halus! ” kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai ke
telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung, bahkan
semakin rajin bekerja.
Setahun
kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena istri Petani
melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan mereka
tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang sehat
dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu kebiasaan
yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar. Makanan yang
seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.
Lama
kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu
pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan Petani
agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun
dia itu anak kita!” kata Petani kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran
seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Puteri kepada
suaminya.
Memang kata
orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani itu. Pada suatu
hari, Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana
ayahnya sedang bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani menunggu
kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung pulang ke rumah.
Di lihatnya Putera sedang bermain bola. Petani menjadi marah sambil menjewer
kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !,”
umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.
Setelah
petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya hilang
lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba
menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Petani dan desa
sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk
sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal
dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama
Pulau Samosir.
Posted:
15/03/2011 in BATAK
Pengingkaran
Marga, Sebuah Tragedi Kepribadian Mirip Kasus Si Malin Kundang.
agi
orang Batak,
marga adalah warisan yang bernilai sangat tinggi. Marga
ibarat
sebuah mahkota bagi seorang Batak (dalam tulisan singkat ini yang dibicarakan
adalah Batak Toba), yang diwariskan leluhur secara alamiah (dengan sendirinya).
Begitu seorang bayi Batak lahir, dia sudah langsung menyandang marga ayahnya,
menurut sistem patrilineal yang dianut orang Batak. Dan itu sah, tidak akan ada
suatu kekuatan apapun yang dapat mengingkarinya. Jika yang lahir adalah bayi
laki-laki, maka dia menyandang marga ayahnya sebagai penerus marga ke generasi berikutnya.Dan
kalau yang lahir bayi perempuan, dia juga akan menyandang marga ayahnya,
meskipun (karena dia boru) marga itu tidak lagi berkelanjutan karena Batak
tidak menganut sistem garis keibuan (matrilineal).
Ketika
seorang boru Batak kawin dengan marga lain, status yang disandangnya menurut
sistem Dalihan Natolu, adalah sebagai “boru” dan marga suaminya otomatis
menjadi hula-hula. Makanya istilah ” na maranak marboru” di lingkungan Batak
Toba, sangat strategis, tergantung konteks adat keseharian. Hari ini bisa dalam
posisi boru, tapi lain waktu posisinya menjadi hula-hula atau dongan tubu. Bila
yang melaksanakan hajatan adat adalah pihak marga saudara laki-laki, tentu
posisi keluarga saudara perempuan adalah boru, dan pihak saudara laki-laki
sebagai hula-hula. Hal itu suatu aturan yang absolut dalam frame (bingkai)
Dalihan Natolu.
Karena itu,
sekalipun seorang anak perempuan tidak mewariskan marganya pada keturunannya
(karena Batak tidak menganut garis keibuan), bukan berarti marga itu tidak
berarti. Karena dari marga seorang ibu lah yang kemudian menentukan adanya Bona
ni ari, bona hula, bona tulang, atau tulang. Dan ketika satu saat seorang
ibu/isteri meninggal dunia, pihak hula-hula itulah (sebagai yang empunya boru)
yang berhak menyampaikan saput. Begitu pula ketika seorang ibu/isteri itu yang
mabalu (menjanda) ditinggal suami yang meninggal, pihak hula-hula itu yang
berhak mengenakan tujung baginya.
Dari uraian
sederhana itu, jelas sekali makna strategis marga bagi perempuan Batak. Bahkan
dalam pergaulan sehari-hari, ketika dua orang pria Batak saling berkenalan,
yang pertama sekali ditanya bukanlah apa pekerjaan atau dimana rumah, melainkan
marga apa.Kemudian dalam konteks lebih detil, muncul pertanyaan yang biasa
terdengar :” Ai boru aha ma dialap hamu” (boru apa orang rumah). Dari
penyebutan marga orang rumah, dapat diketahui posisi menurut tarombo (silsilah
Batak). Bila ternyata sama dengan marga si penanya, tentu si penanya berstatus
hula-hula. Atau kadang bisa ditarik lagi dalam lingkup yang lebih luas,
misalnya dari kesatuan marga tertentu.Apakah misalnya persamaan dari Si Raja
Lontung, Si Bagot Ni Pohan, Parna, Oppu Tuan Somanimbil, Tuan Sihubil, dan
sebagainya.
PENGINGKARAN
MARGA
Dengan
demikian, sangatlah mengejutkan dan mengherankan, tatkala suatu ketika kita
mendengar ada seorang boru Batak tiba-tiba mengingkari marga aslinya menjadi
marga yang lain. Tentu timbul pertanyaan, fenomena apakah itu gerangan? Apakah
sekadar hanya kekeliruan, atau ketidakpahaman tentang makna marga, ataukah
kesengajaan bermotif tertentu, ataukah ada factor penyebab lain yang
dirahasiakan?
Contoh
kasus, sebutlah demikian: Ada seorang ibu melahirkan bayi perempuan di satu
tempat. Karena suaminya bermarga S, tentu otomatis sang bayi itu menyandang
marga suami ibunya yang notabene adalah ayahnya. Dalam hal ini kita tidak
berniat melontarkan suatu penyelidikan kritis bernuansa tanda tanya karena kita
tidak ingin terperangkap melanggar kode etik. Lalu, pendek cerita tatkala umur
sang bayi masih 4 hari, sang ayah meninggal dunia.Sebuah kenyataan pahit
memang, tapi sering menimpa banyak bayi lain di dunia ini. Saat baru menghirup
udara kehidupan, tak sempat mengenal sang ayah. Itu memang terasa pedih. Kisah
sedih itu kemudian berganti warna. Menjelang usia si bayi menapak tahun ke 3,
sang ibu menikah dengan lelaki marga lain, katakanlah marga P. Sejak saaat itu,
otomatis si bayi boru S tadi dibesarkan dalam keluarga yang dipimpin marga P
(istilah Batak “dipagodang-godang”). Apakah sejak saat itu, dalam kepribadian
si anak sudah melekat kedekatan pada marga ayah tirinya, ataukah ada factor
lain yang dirahasiakan, kurang jelas diketahui. Tapi diketahui kemudian, bahwa
dalam proses keadministrasian si anak tidak ada tercantum penggunaan marga
aslinya (S), hanya dicantumkan nama semata,apakah itu dalam surat baptis, surat
sidi, atau ijajah-ijajah. Tapi kenapa? Tentu hanya orangtuanya yang tahu.
Apakah itu bagian dari sebuah program tersendiri, kita juga kurang tahu.
Alkisah, si
anak perempuan pun beranjak dewasa, sampai kemudian kawin dengan seorang pria
yang kini menyandang posisi pemimpin masyarakat berskala kecil di satu desa di
Kecamatan Sipoholon. Menyangkut proses adat keseharian berikutnya, termasuk
mensyukuri kelahiran anak-anak dari perkawinan boru S tadi, pihak kerabat atau
famili dekat seperti amanguda/inang uda atau tulangnya marga P, selalu
terlibat. Itu pertanda bahwa si ibu benar-benar adalah boru S. Banyak saksi
dari keluarga dekat yang masih hidup, dan siap memberi kesaksian untuk
kebenaran soal marga itu.
Lalu masalah
(ataukah ini bernama kemurtadan), muncul,tatkala ibu berstatus pendidik ini mau
“mangadati” sesuai tuntutan adat Batak. Awalnya muncul rumor mengatakan, bahwa
si ibu muda tidak bersedia memakai marganya semula (boru Simanjuntak) melainkan
boru P. Tentu kalangan keluarga dari almarhum ayahnya maupun pihak keluarga
dari ibunya marga Pardede, tercengang, tak habis pikir. Kenapa dia bersikap
seperti itu? Apakah karena dia sejak kecil dalam ruang lingkup ayah tirinya
marga P, menjadi alasan bahwa dia bukan lagi boru S melainkan boru P? Sebegitu
gampangnya kah mengingkari dan merobah marga? Sebegitu rendahnya kah
keperibadiannya sebagai boru Batak untuk menghapus sejarah yang melekat pada
dirinya? Seribu satu pertanyaan pun muncul.
Lobbi atau
pendekatan demi pendekatan sudah acap dilakukan pihak keluarga dekat dari ayah
kandung ibu muda yang mengingkari marganya ini. Termasuk ke kalangan marga ayah
tirinya. Tapi jawaban yang diterima, bersandar pada sikap “paku mati” dari yang
bersangkutan, yang terus ngotot menyatakan dirinya bukan boru S tapi boru P.
Sampai dekat hari H pesta adat mereka, jawaban tetap itu juga. Sudah paku mati,
bahwa dia adalah boru P,bukan boru S.
Adalah
M.Simanjuntak, amanguda kandung (adik ayah) pengingkar marganya itu, yang kesal
amat menerima kenyataan pahit itu.” Banyak saksi hidup termasuk saya, bahwa dia
adalah anak kandung dari abang saya. Kalau dia sekarang tidak lagi mengakuinya,
yah biarlah dia yang menanggung dosa ingkarnya itu, tapi kalau kami tetap
menganggapnya sebagai anak abang kami yang sudah meninggal”,ujar M.Simanjuntak
menegaskan, seraya menguraikan silsilah mereka luar kepala.
Maka, apapun ceritanya, yang pasti pesta adat itu sudah berlangsung. Dan ibu
muda boru S itu benar-benar diadati sebagai boru P, di sebuah desa tanggal 9
Juni yang lalu.
Tragiskah
namanya, atau aneh, atau harus disebut luar biasa. Barangkali sebutan terakhir
itu yang paling pantas mengomentari kasus ini. Sebuah studi kasus barangkali
buat mereka yang dipercayakan mengemban masalah adat di Lembaga Adat Dalihan
Natolu. Andaikata si ibu ingkar itu adalah boru sileban (istilah buat wanita
dari suku diluar Batak), tentu masalahnya lain,ujar seorang tetua adat
mengamati perkembangan kejadian itu. Sebab seorang wanita sileban bisa saja
“diappu” (ditabalkan) bermarga tertentu, tanpa serumit penabalan seorang pria.
Tetapi kalau seorang wanita Batak yang jelas bermarga lalu mengingkarinya serta
beralih ke marga lain, itu sudah luar biasa, dan belum pernah terjadi dalam
sejarah Batak.” Pengingkaran marga itu sama artinya pengingkaran terhadap
keabsahan orangtua kandung, dan pengingkaran tentang keabsahan itu identik
dengan kedurhakaan seperti yang terjadi pada hikayat Minangkabau Si Malin
Kundang, atau dalam versi Batak Si Mardan na Mansoadahon Inana”, kata orangtua
itu menganalisis.
Tetapi dalam
konteks hikayat klasik Malin Kundang maupun Si Mardan, versinya beda. Si Malin
misalnya (menurut versi cerita Minang), tega meniadakan ibu kandungnya hanya
karena perasaan malu kalau dia punya ibu yang miskin di kampung. Malin adalah
pria ambisius yang mau mengubur jati diri aslinya demi prestise dan demi
cita-citanya menjadi orang terpandang. Akhir kisahnya tragis, dia dikutuk
menjadi batu. Demikian halnya Si Mardan dalam legende Tapanuli. Kedua kisah itu
memfokuskan figur ibu sebagai tokoh sentral yang menjadi korban kedurhakaan.
Sebaliknya
dalam kasus wanita boru S yang berubah menjadi boru P tadi, justru dengan
ibunya baik-baik saja. Yang diingkari bukan keberadaan ibu, melainkan keabsahan
marga aslinya. Dan pengingkaran marga asli yang turun dari ayah, barangkali
bisa dikonotasikan pengingkaran terhadap “keabsahan” sang ayah. Apakah ini
bukan termasuk paradigma baru dari kisah kedurhakaan seperti Malin Kundang?
Pertanyaan ini dapat dijawab siapapun juga menurut tafsir atau persepsi
masing-masing. Ataukah ini boleh disebut ” sebuah tragedy kepribadian mirip Si
Malin Kundang atau Si Mardan? Terserah.
Posted:
15/03/2011 in BATAK
Konteks
kehidupan suku batak sebelum injil masuk
Suku Batak
adalah salah satu suku di Indonesia yang mempertahankan kebudayaanya, memegang
teguh tradisi dan adat. Pada masa lampau orang batak tidak suka terhadap orang
luar (Barat/’’sibontar mata’’) kerena mereka dianggap sebagai penjajah. Selain
itu, ada paham bagi mereka bahwa orang yang berada di luar suku mereka adalah
musuh, sebab masa itu sering terjadi perang antar suku. Sebelum Injil masuk,
suku Batak adalah suku penyembah berhala. Kehidupan agamanya bercampur, antara
menganut kepercayaan animisme, dinamisme dan magi. Ada banyak nama dewa atau
begu (setan) yang disembah, seperti ‘’begu djau’’ (dewa yang tidak dikenal
orang ), begu antuk (dewa yang memukul kepala seseorang sebelum ia mati), begu siherut(dewa
yang membuat orang kurus tinggal kulit),dll.
Suku Batak
hidup dengan bercocok tanam, berternak hewan dan berladang. Hasil dari
perternakan dan cocok tanam mereka jual ke pasar pada hari tertentu. Di pasar
mereka melakukan transaksi untuk keperluan sehari-hari seperti membeli beras,
garam, tembakau dll. Keadaan yang dinamis ini sering terusik oleh permusuhan
antara satu kampung dengan kampung lainya. Tidak jarang permusuhan berakibat
pembunuhan dan terjadi saling balas dendam turun-temurun. Jika di kampung
terjadi wabah, seperti pes dan kolera, mereka akan meminta pertolongan Raja
Sisingamangaraja yang berada di Bakkara. Raja Si Singamangaraja pun datang dan
melakukan upacara untuk menolak bala dan kehancuran. Hampir semua roda
kehidupan orang Suku Batak dikuasai oleh aturan-aturan adat yang kuat. Mulai
lahirnya seorang anak, beranjak dewasa, kemudian menikah, memiliki anak hingga
meninggal harus mengikuti ritual-ritual adat.
Masuknya
penginjil ke tanah batak utusan pekabaran injil baptis Inggris
Pada tahun
1820 tiga utusan Pekabaran Injil Baptis Inggris yaitu Nathan Ward, Evans dan
Richard Burton dikirim ke Bengkulu untuk menjumpai Raffles. Kemudian Raffles
menyarankan supaya mereka pergi ke Utara, ke daerah tempat tinggal suku Batak
yang masih kafir. Burton dan Ward menuruti petunjuk Raffles. Mereka pergi ke
Utara, awalnnya mereka bekerja di pesisir, kemudian tahun 1824 masuk ke daerah
lebih dalam lagi, yakni Silindung-wilayah suku Batak Toba. Saat mereka tiba di
Silindung, mereka diterima dengan baik oleh raja setempat, namun perjalanan
penginjilan mereka terhenti ketika terjadi salah paham dengan penduduk.
Penduduk salah menafsir khotbah penginjil tersebut yang mengatakan kerajaan
mereka harus menjadi lebih kecil, seperti anak kecil. Penduduk tidak suka hal
ini maka para penginjil tersebut diusir pada tahun itu juga.
Penginjil
utusan American Board of Commissioners for Foreign Mission
Kemudian
tahun 1834 dua orang Amerika, yaitu Munson dan Lyman yang merupakan utusan
gereja Kongregationalis Amerika yang diutus oleh The American Board of
Commissioners for Foreign Mission (ABCFM) di Boston masuk ke Sumatera. Pada 17
Juni 1834 mereka tiba di Sibolga dan menetap beberapa hari di sana. Kemudian 23
Juni 1834 mereka berangkat menuju pegunungan Silindung. Dalam perjalanan,
ketika tiba di pinggir Lembah Silindung, malam hari 28 Juni 1834 mereka
dihadang, ditangkap dan dibunuh di dekat Lobu Pining. Pembunuh penginjil
tersebut adalah Raja Panggalamei (Raja di Pintubosi yang tinggal di Singkak)
bersama dengan rakyatnya.
Penginjil
utusan Rheinische Missions Geselschaf
Tahun 1840
seorang ilmuan berkebangsaan Jerman F. Junghuhn melakukan perjalanan ke daerah
Batak dan kemudian menerbitkan karangan tentang suku Batak. Karangan tersebut
sampai ke tangan tokoh-tokoh Lembaga Alkitab di Belanda, hingga mereka mengirim
seorang ahli bahasa bernama H. Neubronner van der Tuuk (tuan yang
berkecukupan). Van der Tuuk adalah orang Barat pertama yang melakukan
penelitian ilmiah tentang bahasa Batak, Lampung, Kawi, Bali. Ia juga orang
Eropa pertama yang menatap Danau Toba dan bertemu dengan Si Singamangaraja. Ia
merasa senang berkomunikasi dan menyambut orang Batak di rumahnya. Van der tuuk
memberi saran supaya lembaga zending mengutus para penginjil ke Tapanuli,
langsung ke daerah pedalamannya. Untuk menunjang masukannya tersebut, ia
menyusun sebuah kamus, mengumpulkan cerita, pribahasa, dan menerjemahkan Injil
dan beberapa bagian Alkitab ke dalam bahasa Batak. Tahun 1857 pekabar Injil G
Van Asselt utusan dari jemaat kecil di Ermelo, Belanda melakukan pelayanan di
Tapanuli. Ia menembus beberapa pemuda dan memberi mereka pengajaran Kristiani,
pada 31 Maret 1861 dua orang Batak pertama dibaptis, yaitu: Jakobus Tampubolon
dan Simon Siregar. Tahun ini juga, tepatnya 07 Oktober 1961 diadakan rapat
empat pendeta di Sipirok, yaitu Pdt. Heine, Pdt. Klemmer,(pendeta Jerman) dan
Pdt. Betz, dan Pdt. Ansselt(Pendeta Belanda) untuk menyerahkan misi penginjilan
kepada Rheinische Missions Geselschaf. Hari ini dianggap menjadi hari
berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Kemudian Ludwig Ingwer
Nommensen (1834-1918) tiba di Padang pada tahun 1862. Ia menetap di Barus
beberapa saat untuk belajar bahasa dan adat Batak dan Melayu. Ia tiba melalui
badan Misi Rheinische Missions Geselschaf. Kemudian tahun 1864 ia masuk ke
dearah Silindung, mula-mula di Huta Dame, kemudian di Pearaja (kini menjadi
kantor pusat HKBP).
Dalam
menyampaikan Injil, Nommensen dibantu oleh Raja Pontas Lumban Tobing (Raja
Batak Pertama yang dibaptis) untuk mengantarnya dari Barus ke Silindung dengan
catatan tertulis bahwa ia tidak bertanggung jawab atas keselamatannya. Pada
awalnya Nommensen tidak diterima baik oleh penduduk, karena mereka takut kena
bala karena menerima orang lain yang tidak memelihara adat. Pada satu saat,
diadakan pesta nenek moyang Siatas Barita, biasanya disembelih korban. Saat
itu, Sibaso(Pengantara orang-orang halus) sesudah kerasukan roh menyuruh orang
banyak untuk membunuh Nommensen sebagai korban, yang pada saat itu hadir di
situ. Dalam keadaan seperti ini, Nommensen hadir ke permukaan dan berkata
kepada orang banyak: Roh yang berbicara melalui orang itu sudah banyak
memperdaya kalian. Itu bukan roh Siatas Barita, nenekmu, melainkan roh jahat.
Masakan nenekmu menuntut darah salah satu dari keturunanya! Segera Sibaso jatuh
ke tanah. Menghadapi keadaan yang menekan, Nommensen tetap ramah dan lemah
lembut, hingga lama-kelamaan membuat orang merasa enggan dan malu berbuat tidak
baik padanya. Pada satu malam ketika para raja berada di rumahnya hingga larut
malam dan tertidur lelap, Nommensen mengambil selimut dan menutupi badan
mereka, hingga pagi hari mereka terbangun dan merasa malu, melihat perbuatan
baik Nommensen. Sikap penolakan raja batak ini disebabkan kekhwatiran bahwa
Nommensen adalah perintisan dari pihak belanda.
Perkembangan
kekristenan setelah Injil masuk
Suku Batak
yang masuk Kristen mendapat tekanan dan diusir dari kampung halamanya karena
tidak mau memberi sumbangan untuk upacara-upacara suku. Keadaan seperti ini
mamaksa mereka berkumpul pada satu kampung tersendiri, yaitu [Huta Dame]
(kampung damai). Setelah tujuh tahun Nommensen melakukan penginjilan, orang
Batak yang masuk Kristen berjumlah 1.250 jiwa. Sepuluh tahun kemudian 1881
jumlahnya naik lima kali lipat, hingga jumlah orang Batak yang masuk Kristen
adalah sekitar 6.250 orang. Pada tahun 1918 sudah tercatat 185.731 orang
Kristen di wilayah RMG Sumatera Utara. Tahun 1881 Nommensen diangkat menjadi
menjadi Ephorus oleh RMG, jabatan tersebut dipegangnya hingga ia meninggal 23
Mei 1918. Suku batak memberi gelar kepada Nommensen dengan sebutan ‘’Ompu i’’
(Nenek Kita), gelar ini memposisikan Nommensen sama dengan Si Singamangaraja
atau tokoh sakti lainya.